A. Riba Haram
Dalam kamus al-Mu`jam al-Wasith, jilid I karya Dr. Ibrahim Anis dkk. dijelaskan bahwa riba secara etimologis berarti kelebihan dan tambahan (al-fadhl wa az-ziyadah), sedang menurut syarak adalah kelebihan (tambahan) tanpa imbalan yang disyaratkan kepada salah satu dari dua orang yang melakukan akad. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam jilid V, karya Drs. H. A. Hafizh Dasuki, MA, dkk dijelaskan bahwa para ulama fikih mendefinisikan riba sebagai “Kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.” Maksudnya, tambahan terhadap modal uang yang timbul sebagai akibat suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan terutama kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo.
Memang dalam berbagai kitab fikih ditemukan definisi tentang riba yang sedikit banyaknya berbeda antara satu dengan lainnya oleh para ulama. Namun, setelah mengemukakan beberapa definisi tersebut, Muhammad Baiba dalam kitabnya, al-Adillah al-Wafiyah fi Idhah al-Mu`amalat ar-Ribawiyah, halaman 21 menyimpulkan bahwa pada hakikatnya pengertian riba di kalangan ulama dari berbagai mazhab sama. Mereka berbeda pada redaksi saja. Muhammad Baiba menjelaskan pula bahwa umat telah ijmak (sepakat) atas haramnya riba. Tidak ada yang berpendapatr lain tentang hukum riba. Imam an-Nawawi juga dalam kitabnya, Syarh al-Muhazzab, jilid IX halaman 391 menjelaskan ijmak kaum Muslim tentang haramnya riba. Muhammad Baiba juga menegaskan bahwa banyak sekali ulama yang menerangkan tentang ijmak atas haramnya riba. Dari ulama kontemporer, Dr. Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, halaman 14 menegaskan bahwa Islam sangat mengharamkan riba melalui nash-nash yang jelas dengan kandungan makna yang pasti (qath`i).
Adapun dalil haramnya riba dari Alquran antara lain adalah surat al-Baqarah ayat 275, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”; surat Ali Imran ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” Dalam surat al-Baqarah ayat 278 ditegaskan agar meninggalkan sisa riba, “ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak menunaikannya (perintah tinggalkan ini) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.”
Sementara itu, Nabi saw. dengan berbagai ungkapan banyak sekali mengeluarkan larangan praktik riba. Antara lain adalah hadis riwayat Muslim, Abdullah berkata : Rasul saw. melaknat orang yang memakan riba dan yang memberikan riba.” Dalam riwayat Muslim juga diterangkan oleh Jabir bin Abdullah ra. : Rasul saw, melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberinya, orang yang menulisnya, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dengan ungkapan lain al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasul saw. bersabda : “Hindari kamulah tujuh hal yang membinasakan. Mereka (para sahabat) bertanya, “ Apa itu ya Rasul? Rasul saw, menerangkan: Syirik kepada Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan Allah tanpa hak, dan memakan riba. Demikianlah seterusnya banyak sekali hadis tentang larangan melakukan riba dan haramnya hasil riba.
B. Bunga Bank Sama Dengan Riba
Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah bunga bank sebagaimana yang dipahami secara konvensional dewasa ini sama dengan riba. Sistem bank konvensional tidak ada di masa Rasul, bahkan tidak ditemukan di zaman klasik dan pertengahan, Menurut sementara informasi, bank konvensional pertama sekali didirikan pada tahun 1157 M di Itali. Kemudian, sistem ini berkembang pada seperempat terakhir dari abad XVI dan mulai masuk ke negeri-negeri Islam pada akhir abad XIX. Oleh karena tidak tidak ditemukan di zaman Rasul, maka tidak ditemukan pula nash yang jelas tentang hukum bunga bank konvensional. Bahkan, dalam literatur klasik dan zaman pertengahan pun tidak ditemukan.
Sebagai pedoman hidup sepanjang zaman, Islam harus mempunyai sikap terhadap bunga bank. Suatu hal perlu diingat, bahwa dalil hukum dalam Islam itu tidak hanya Alquran dan Hadis. Selain itu ada ijmak, qiyas (analogi), mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, uruf, syar`u man qablana, dan pendapat sahabat Nabi, Lebih daripada itu, dalam menetapkan hukum, Islam memiliki sejumlah kaedah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang timbul dalam masya-rakat. Dalam menerapkan dalil dan kaedah ini para ulama menggunakan ijtihad mereka yang kadang-kadang berakhir dengan perebedaan pendapat. Karena itu, mengenai hukum bunga bank juga terjadi perbedaan pendapat. Meskipun sejak lama sudah banyak ulama yang meng-haramkannya, namun masih ada yang memandangnya tidak sama dengan riba. Misalnya, Muhammad Baiba, Yusuf al-Qardhawi, Abu al-A`la al-Maududi, H.Nukman Sulaiman, H. Hamdan Abbas, dan sejumlah ulama telah lama memandang bung bank sama dengan riba. Akan tetapi, Rasyid Rida, A. Hassan, dan M. Qjuraish Shihab memandang keduanya berbeda sehingga hukumnya pun berbeda. Bahkan, di MUI Tk.I SU sendiri masalah hukum bunga bank dibicarakan pada tahun 1985 dan 2003 dan hasilnya masih tidak sepakat atas keharamannya. Akan tetapi, dengan keluarnya fatwa MUI Pusat tentang keharaman bunga bank tahun 2003, maka seluruh MUI tingkat daerah tunduk kepada fatwa MUI Pusat tersebut, termasuk MUI Tk.I SU.
C. Fatwa dan Konsensus Tentang Bunga Bank
Selain dari pendapat-pendapat para ulama secara pribadi mengenai haramnya bunga bank, telah terbentuk beberapa fatwa dan konsensus tentang haramnya bunga bank, baik dalam negeri maupun di luar negeri. Misalnya, Lembaga Pengkajian Islam Al-Azhar (Majma` al-Buhuts al-Islamiyah Al-Azhar) Mesir sejak lama telah mencapai konsensus tentang haramnya bunga bank. Pada tahun 1965 lebih dari 350 ulama dan pakar hukum Islam dari seluruh dunia melakukan pengkajian di Universitas al-Azhar. Ternyata mereka juga sampai kepada kesimpulan bahwa bunga bank termasuk riba yang diharamkan dalam Islam. Pada tahun 1985, Fiqh Academy negara-negara OKI juga menyim-pulkan keharaman bunga bank. Pada tahun 1979 Dar al-Ifta Arab Saudi; pada tahun 1986 Fiqh Academy Muslim World; dan pada tahun 1999 Mahkamah Syari`ah Pakistan semuanya berkesimpulan tentang haramnya bunga bank. Delapan belas fatwa dari keputusan-keputusan para mufti Mesir sejak tahun 1907 sampai 2002 hampir seluruhynya mengharamkan bunga bank.
Secara organisasi, pada tahun 1991 Persis telah menetapkan bahwa bunga bank adalah haram. Pada Muktamar di Bandar Lampung tahun 1992, Nahdhatul Ulama meminta PB NU untuk mengupayakan memiliki bank yang tidak mengandung unsur yang haram. Pada tahun 1998, Muhammadiyah telah menetapkan bahwa hukum bunga bank syubhat yang harus dihindari. Pada tahun 2001, Al-Washliyah menetapkan bunga bank termasuk riba dan hukumnya haram.Terakhir, pada tahun 2003 secara nasional MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang keharaman bunga bank.
D. Keabsahan Fatwa MUI Pusat
Badan yang membidangi hukum dalam MUI adalah Komisi Fatwa. Komisi Fatwa ini terdiri dari para ulama dan pakar hukum Islam. Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank disepakati oleh ketua-ketua atau yang mewakili ketua komisi fatwa dari seluruh wilayah dan wakil-wakil dari ormas-ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, dan Al-Washliyah. Oleh karena itu, para peserta ijtima` yang memutuskan fatwa tersebut adalah orang-orang yang berkompeten dari sudut akademis dan memiliki kewenangan legal di bidangnya secara organisatoris maka ijtihad mereka dalam bentuk fatwa hukum adalah sah. Bahkan, sebelum fatwa dalam skala nasional ini keluar, fatwa dalam sekala internasional pun sudah berulang kali dikeluarkan dalam berbagai kesempatan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Karena itu, keberatan dari sementara orang tentang fatwa ini tidak perlu menimbulkan keraguan. Apalagi, keberatan itu memang munculnya dari orang-orang yang cara berpikirnya dikenal sekuler, tentunya tidak perlu dipertimbangkan.
Kemudian, dalam kenyataan pun telah jelas bagaimana rapuhnya sistem bunga. Perjalanan perbankan konvensional di Indonesia cukup melelahkan. Kita tidak tahu sampai kapan program penyehatan perbankan yang menerapkan sistem bunga berlangsung. Meskipun telah banyak yang dilikuidasi, namun yang masih hidup terus menjadi beban nasional. Sebaliknya, bank-bank syariah sejauh ini belum ada yang memberati negara dan cenderung berkembang.
Secara historis, sistem bagi hasil berawal di Pakistan dan Malaysia pada tahun 1940-an dalam hal pengelolaan haji. Dalam bentuk embrio perbankan syariah mulai di Mesir pada dekade 1960-an yang berbentuk semacam lembaga keuangan unit desa. Pada tahun 1975 berdirilah Islamic Development Bank (IDB) yang sekarang banyak membantu lembaga-lembaga Islam di dunia, termasuk bidang pendidikan dan pertanian. Lembaga perbankan syariah terus berkembang sehingga pada akhir 1999 tercatat 200 buah di seluruh dunia, termasuk di Eropa, Amerika, dan Australia. Pada tahun 1992, sistem perbankan syariah mulai diterapkan di Indonesia berdasarkan UU No. 7 tahun 1992. Sekarang, bank-bank konvensional sendiri sudah banyak membuka divisi syariah di mana-mana. Ini merupakan bagian dari bukti kemaslahatan yang terkandung dalam sistem perbankan syariah.
Sabtu, 06 Juli 2013
Kamis, 20 Juni 2013
Koperasi
Koperasi adalah organisasi bisnis yang dimiliki dan dioperasikan oleh orang-seorang demi kepentingan bersama. Koperasi melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.
Prinsip koperasi adalah suatu sistem ide-ide abstrak yang merupakan petunjuk untuk membangun koperasi yang efektif dan tahan lama. Prinsip koperasi terbaru yang dikembangkan International Cooperative Alliance (Federasi koperasi non-pemerintah internasional) adalah- Keanggotaan yang bersifat terbuka dan sukarela
- Pengelolaan yang demokratis,
- Partisipasi anggota dalam ekonomi,
- Kebebasan dan otonomi,
- Pengembangan pendidikan, pelatihan, dan informasi.
Di Indonesia sendiri telah dibuat UU no. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian. Prinsip koperasi menurut UU no. 25 tahun 1992 adalah:
- Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
- Pengelolaan dilakukan secara demokrasi
- Pembagian SHU dilakukan secara adil sesuai dengan jasa usaha masing-masing anggota
- Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
- Kemandirian
- Pendidikan perkoperasian
- Kerjasama antar koperasi
Bentuk dan Jenis Koperasi
Jenis Koperasi menurut fungsinya
- Koperasi pembelian/pengadaan/konsumsi adalah koperasi yang menyelenggarakan fungsi pembelian atau pengadaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan anggota sebagai konsumen akhir. Di sini anggota berperan sebagai pemilik dan pembeli atau konsumen bagi koperasinya.
- Koperasi penjualan/pemasaran adalah koperasi yang menyelenggarakan fungsi distribusi barang atau jasa yang dihasilkan oleh anggotanya agar sampai di tangan konsumen. Di sini anggota berperan sebagai pemilik dan pemasok barang atau jasa kepada koperasinya.
- Koperasi produksi adalah koperasi yang menghasilkan barang dan jasa, dimana anggotanya bekerja sebagai pegawai atau karyawan koperasi. Di sini anggota berperan sebagai pemilik dan pekerja koperasi.
- Koperasi jasa adalah koperasi yang menyelenggarakan pelayanan jasa yang dibutuhkan oleh anggota, misalnya: simpan pinjam, asuransi, angkutan, dan sebagainya. Di sini anggota berperan sebagai pemilik dan pengguna layanan jasa koperasi.
Jenis koperasi berdasarkan tingkat dan luas daerah kerja
- Koperasi Primer
- Koperasi Sekunder
- koperasi pusat - adalah koperasi yang beranggotakan paling sedikit 5 koperasi primer
- gabungan koperasi - adalah koperasi yang anggotanya minimal 3 koperasi pusat
- induk koperasi - adalah koperasi yang minimum anggotanya adalah 3 gabungan koperasi
Jenis Koperasi menurut status keanggotaannya
- Koperasi produsen adalah koperasi yang anggotanya para produsen barang/jasa dan memiliki rumah tangga usaha.
- Koperasi konsumen adalah koperasi yang anggotanya para konsumen akhir atau pemakai barang/jasa yang ditawarkan para pemasok di pasar.
Keunggulan koperasi
Kemungkinan koperasi untuk memperoleh keunggulan komparatif dari perusahaan lain cukup besar mengingat koperasi mempunyai potensi kelebihan antara lain pada skala ekonomi, aktivitas yang nyata, faktor-faktor precuniary, dan lain-lain.Kewirausahaan koperasi
Kewirausahaan koperasi adalah suatu sikap mental positif dalam berusaha secara koperatif, dengan mengambil prakarsa inovatif serta keberanian mengambil risiko dan berpegang teguh pada prinsip identitas koperasi, dalam mewujudkan terpenuhinya kebutuhan nyata serta peningkatan kesejahteraan bersama. Dari definisi tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa kewirausahaan koperasi merupakan sikap mental positif dalam berusaha secara koperatifTugas utama wirakop adalah mengambil prakarsa inovatif, artinya berusaha mencari, menemukan, dan memanfaatkan peluang yang ada demi kepentingan bersama. Kewirausahaan dalam koperasi dapat dilakukan oleh anggota, manajer birokrat yang berperan dalam pembangunan koperasi dan katalis, yaitu orang yang peduli terhadap pengembangan koperasi.
Pengurus
Pengurus koperasi dipilih dari kalangan dan oleh anggota dalam suatu rapat anggota. Ada kalanya rapat anggota tersebut tidak berhasil memilih seluruh anggota Pengurus dari kalangan anggota sendiri. Hal demikian umpamanya terjadi jika calon-calon yang berasal dari kalangan-kalangan anggota sendiri tidak memiliki kesanggupan yang diperlukan untuk memimpin koperasi yang bersangkutan, sedangkan ternyata bahwa yang dapat memenuhi syarat-syarat ialah mereka yang bukan anggota atau belum anggota koperasi (mungkin sudah turut dilayani oleh koperasi akan tetapi resminya belum meminta menjadi anggota).Koperasi di Indonesia
Koperasi di Indonesia, menurut UU tahun 1992, didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Di Indonesia, prinsip koperasi telah dicantumkan dalam UU No. 12 Tahun 1967 dan UU No. 25 Tahun 1992 Prinsip koperasi di Indonesia kurang lebih sama dengan prinsip yang diakui dunia internasional dengan adanya sedikit perbedaan, yaitu adanya penjelasan mengenai SHU (Sisa Hasil Usaha).Sejarah koperasi di Indonesia
Pada tahun 1896 seorang Pamong Praja Patih R.Aria Wiria Atmaja di Purwokerto mendirikan sebuah Bank untuk para pegawai negeri (priyayi). Ia terdorong oleh keinginannya untuk menolong para pegawai yang makin menderita karena terjerat oleh lintah darat yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Maksud Patih tersebut untuk mendirikan koperasi kredit model seperti di Jerman. Cita-cita semangat tersebut selanjutnya diteruskan oleh De Wolffvan Westerrode, seorang asisten residen Belanda. De Wolffvan Westerrode sewaktu cuti berhasil mengunjungi Jerman dan menganjurkan akan mengubah Bank Pertolongan Tabungan yang sudah ada menjadi Bank Pertolongan, Tabungan dan Pertanian. Selain pegawai negeri juga para petani perlu dibantu karena mereka makin menderita karena tekanan para pengijon. Ia juga menganjurkan mengubah Bank tersebut menjadi koperasi. Di samping itu ia pun mendirikan lumbung-lumbung desa yang menganjurkan para petani menyimpan pada pada musim panen dan memberikan pertolongan pinjaman padi pada musim paceklik. Ia pun berusaha menjadikan lumbung-lumbung itu menjadi Koperasi Kredit Padi. Tetapi Pemerintah Belanda pada waktu itu berpendirian lain. Bank Pertolongan, Tabungan dan Pertanian dan Lumbung Desa tidak dijadikan Koperasi tetapi Pemerintah Belanda membentuk lumbung-lumbung desa baru, bank –bank Desa , rumah gadai dan Centrale Kas yang kemudian menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI). Semua itu adalah badan usaha Pemerntah dan dipimpin oleh orang-orang Pemerintah.
Pada zaman Belanda pembentuk koperasi belum dapat terlaksana karena :
1. Belum ada instansi pemerintah ataupun badan non pemerintah yang memberikan penerangan dan penyuluhan tentang koperasi.
2. Belum ada Undang-Undang yang mengatur kehidupan koperasi.
3. Pemerintah jajahan sendiri masih ragu-ragu menganjurkan koperasi karena pertimbangan politik, khawatir koperasi itu akan digunakan oleh kaum politik untuk tujuan yang membahayakan pemerintah jajahan itu.
Mengantisipasi perkembangan koperasi yang sudah mulai memasyarakat, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan perundangan tentang perkoperasian. Pertama, diterbitkan Peraturan Perkumpulan Koperasi No. 43, Tahun 1915, lalu pada tahun 1927 dikeluarkan pula Peraturan No. 91, Tahun 1927, yang mengatur Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi bagi golongan Bumiputra. Pada tahun 1933, Pemerintah Hindia-Belanda menetapkan Peraturan Umum Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi No. 21, Tahun 1933. Peraturan tahun 1933 itu, hanya diberlakukan bagi golongan yang tunduk kepada tatanan hukum Barat, sedangkan Peraturan tahun 1927, berlaku bagi golongan Bumiputra. Diskriminasi pun diberlakukan pada tataran kehidupan berkoperas.
Pada tahun 1908, Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo memberikan peranan bagi gerakan koperasi untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Pada tahun 1915 dibuat peraturan Verordening op de Cooperatieve Vereeniging, dan pada tahun 1927 Regeling Inlandschhe Cooperatieve.
Pada tahun 1927 dibentuk Serikat Dagang Islam, yang bertujuan untuk memperjuangkan kedudukan ekonomi pengusah-pengusaha pribumi. Kemudian pada tahun 1929, berdiri Partai Nasional Indonesia yang memperjuangkan penyebarluasan semangat koperasi.
Namun, pada tahun 1933 keluar UU yang mirip UU no. 431 sehingga mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya. Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia. Jepang lalu mendirikan koperasi kumiyai. Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun fungsinya berubah drastis dan menjadi alat Jepang untuk mengeruk keuntungan, dan menyengsarakan rakyat Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia. Sekaligus membentuk Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) yang berkedudukan di Tasikmalaya (Bandung sebagai ibukota provinsi sedang diduduki oleh tentara Belanda).
Fungsi dan peran koperasi Indonesia
Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 Pasal 4 dijelaskan bahwa koperasi memiliki fungsi dan peranan antara lain yaitu mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota dan masyarakat, berupaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia, memperkokoh perekonomian rakyat, mengembangkan perekonomian nasional, serta mengembangkan kreativitas dan jiwa berorganisasi bagi pelajar bangsa.Koperasi berlandaskan hukum
Koperasi berbentuk Badan Hukum menurut Undang-Undang No.12 tahun 1967 adalah [Organisasi]] ekonomi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama, berdasarkan asas kekeluargaan. Kinerja koperasi khusus mengenai perhimpunan, koperasi harus bekerja berdasarkan ketentuan undang-undang umum mengenai organisasi usaha (perseorangan, persekutuan, dsb.) serta hukum dagang dan hukum pajakSejarah Tentang Sistem Ekonomi Islam Syariah
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
pada mata kuliah “Aplikasi Komputer Perbankan Syariah ”
Disusun oleh :
Budi
Wahyudin (210210025)
Dosen Pengampu :
Amien Wahyudi
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI MU’AMALAH-A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
Mei 2013
Sejarah tentang Sistem
Ekonomi Islam atau Syariah
Dengan hancurnya komunisme
dan sistem ekonomi sosialis pada awal tahun 90-an membuat sistem kapitalisme
disanjung sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang sahih. Tetapi ternyata,
sistem ekonomi kapitalis membawa akibat negatif dan lebih buruk, karena banyak
negara miskin bertambah miskin dan negara kaya yang jumlahnya relatif sedikit
semakin kaya.
Dengan kata lain, kapitalis
gagal meningkatkan harkat hidup orang banyak terutama di negara-negara
berkembang. Bahkan menurut Joseph E. Stiglitz (2006) kegagalan ekonomi Amerika
dekade 90-an karena keserakahan kapitalisme ini. Ketidakberhasilan secara penuh
dari sistem-sistem ekonomi yang ada disebabkan karena masing-masing sistem
ekonomi mempunyai kelemahan atau kekurangan yang lebih besar dibandingkan
dengan kelebihan masing-masing. Kelemahan atau kekurangan dari masing-masing
sistem ekonomi tersebut lebih menonjol ketimbang kelebihannya.
Karena kelemahannya atau
kekurangannya lebih menonjol daripada kebaikan itulah yang menyebabkan muncul
pemikiran baru tentang sistem ekonomi terutama dikalangan negara-negara muslim
atau negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yaitu sistem
ekonomi syariah. Negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim mencoba untuk
mewujudkan suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada Al-quran dan Hadist, yaitu
sistem ekonomi Syariah yang telah berhasil membawa umat muslim pada zaman
Rasulullah meningkatkan perekonomian di Zazirah Arab. Dari pemikiran yang
didasarkan pada Al-quran dan Hadist tersebut, saat ini sedang dikembangkan
Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah di banyak negara Islam termasuk di
Indonesia.
Ekonomi Syariah dan Sistem
Ekonomi Syariah merupakan perwujudan dari paradigma Islam. Pengembangan ekonomi
Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah bukan untuk menyaingi sistem ekonomi
kapitalis atau sistem ekonomi sosialis, tetapi lebih ditujukan untuk mencari
suatu sistem ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi
kekurangan-kekurangan dari sistem ekonomi yang telah ada. Islam diturunkan ke
muka bumi ini dimaksudkan untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan
ketentraman hidup dan kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat sebagai nilai
ekonomi tertinggi. Umat di sini tidak semata-mata umat Muslim tetapi, seluruh
umat yang ada di muka bumi. Ketentraman hidup tidak hanya sekedar dapat
memenuhi kebutuhan hidup secara melimpah ruah di dunia, tetapi juga dapat
memenuhi ketentraman jiwa sebagai bekal di akhirat nanti. Jadi harus ada
keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup di dunia dengan kebutuhan untuk akhirat.
Tiga Prinsip Dasar Yang Menyangkut sistem
ekonomi Syariah menurut Islam
1. Tawhid, Prinsip ini merefleksikan bahwa
penguasa dan pemilik tunggal atas jagad raya ini adalah Allah SWT.
2. Khilafah, mempresentasikan bahwa manusia
adalah khalifah atau wakil Allah di muka bumi ini dengan dianugerahi
seperangkat potensi spiritual dan mental serta kelengkapan sumberdaya materi
yang dapat digunakan untuk hidup dalam rangka menyebarkan misi hidupnya. 3. ‘Adalah, merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid al-Syariah). Konsekuensi dari prinsip Khilafah dan ‘Adalah menuntut bahwa semua sumberdaya yang merupakan amanah dari Allah harus digunakan untuk merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (needfullfillment), menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning), distribusi pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).
Empat Ciri atau Sifat Sistem Islam
1.
Kesatuan (unity)
2.
Keseimbangan (equilibrium)
3.
Kebebasan (free will)
4.
Tanggungjawab (responsibility)
Makalah Rahn
GADAI DALAM ISLAM (RAHN)
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas
pada mata kuliah “Aplikasi Komputer Perbankan Syariah ”
Disusun oleh :
Budi
Wahyudin (210210025)
Dosen Pengampu :
Amin Wahyudi
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM STUDI
MU’AMALAH-A
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONOROGO
Mei 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kelebihan pegadaian dibanding bank, secara umum, adalah dalam hal kemudahan dan
kecepatan prosedur. Pegadai (nasabah) tinggal membawa barang yang cukup
berharga, kemudian ditaksir nilainya, dan duit pun cair. Praktis, sehingga
sangat menguntungkan buat mereka yang butuh dana cepat.
Sedangkan perbedaan gadai syariah dengan konvensional adalah dalam hal
pengenaan bunga. Pegadaian syariah menerapkan beberapa sistem pembiayaan,
antara lain qardhul hasan (pinjaman kebajikan), dan mudharabah (bagi hasil)
Bukan tanpa alasan mereka tertarik untuk menggarap gadai ini. Di samping alasan
rasional, bahwa gadai ini memilki potensi pasar yang besar, sistem pembiayaan
ini memang memiliki landasan syariah. Apalagi terbukti, di negara–negara dengan
mayoritas penduduk muslim, seperti di Timur Tengah dan Malaysia, pegadaian
syariah telah berkembang pesat sehingga dalam pembahasan makalah ini akan kami
bahas mengenai tentang rahn.
B. RUMUSAN
MASALAH
E. Pengertian
Rahn
F. Dasar
Hukum Rahn
G. Rukun dan
Syarat Rahn
H. Memanfaatkan
Barang Gadai
1. Pengertian
Rahn
Secara bahasa, rahn atau gadai berasal dari kata ats-tsubutu yang
berarti tetap danad-dawamu yang berarti terus menerus. Sehingga air
yang diam tidak mengalir dikatakan sebagai maun rahin. Dan Rahn
dalam istilah positif Indonesia disebut dengan barang jaminan, dan dalam islam
rahn merupakan sarana saling tolong menolong bagi ummat islam Pengertian
secara bahasa tentang rahn ini juga terdapat dalam firman
Allah SWT :
كَلًّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةً
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa
yang telah diperbuatnya.(QS. Al-Muddatstsr : 38)
Adapun pengertian
gadai atau ar-Rahn dalam ilmu fiqih adalah :
Menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diberikan oleh berpiutang (yang meminjamkan).
Berarti, barang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil kembali dalam
jangka waktu tertentu.
2. Dasar
Hukum Rahn
Ulama fiqih mengemukakan bahwa akad rahn dibolehkan
dalam islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW dalam
Al-Quran Al-Kariem disebutkan:
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ
كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ
الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang)..”.(QS Al-Baqarah ayat 283)
Ayat ini secara
eksplisit menyebutkan barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang.
Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai objek gadai atau
jaminan (kolateral) dalam dunia perbankan.
Selain itu, istilah ar-Rahnu juga disebut dalam salah satu hadis nabawi.
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi
dengan cara menggadaikan baju besinya.(HR. Bukhari dan Muslim)
Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang
menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya… Kepada orang
yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”, (HR Jamaah kecuali Muslim
dan Nasa’i, Bukhari no. 2329, kitab ar-Rahn).
Para fuqaha sepakat membolehkan praktek rahn / gadai ini, asalkan tidak
terdapat praktek yang dilarang, seperti riba atau penipuan. di masa Rasulullah
praktek rahn pernah dilakukan. Dahulu ada orang menggadaikan kambingnya.
Rasululah SAW ditanya bolehkah susu kambingnya diperah. Nabi mengizinkan,
sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasullulah mengizinkan kita
boleh mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya
pemeliharaan. Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan ladang
ijtihad para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi
produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
Secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu lembaga tersendiri
seperi Perum Pegadaian, perusahaan swasta maupun pemerintah, atau merupakan
bagian dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank.
Praktek gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang
telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian, kini bukan lagi
dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya
sakit atau butuh biaya sekolah. Pegadaian kini juga tempat para pengusaha
mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya.
Misalnya seorang produsen film butuh biaya untuk memproduksi filemnya, maka
bisa saja ia menggadaikan mobil untuk memperoleh dana segar beberapa puluh juta
rupiah. Setelah hasil panenya terjual dan bayaran telah ditangan, selekas itu
pula ia menebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap jalan, likuiditas
lancar, dan yang penting produksi bisa tetap berjalan.
3. Rukun
dan Syarat Rahn
Ulama fiqih dalam menetapkan rukun pelaksanaan akad rahn tersebut. Menurut
jumhur ulama ulama rukun rahn itu ada empat.
1. Sigah ( Lafal
ijab Kabul)
yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan secara
tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya
perjanjian gadai diantara para pihak
2. Ar-rahin dan
al-murtahin (orang yang berakat)
3. Al-marhun
(harta yang dijadikan anggunan)
4. Al-marhunbih
(utang)
Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun rahn itu hanya ijab
(pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh pemilik barang) dan kabul
(pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang anggunan
tersebut). Disamping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatya akad
rahn ini, maka di perlukan al-qabd (penguasaan barang) oleh kridor.
Adapaun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan, dan
utang, menurut ulama mashaf hanafi termaksuk syarat-syarat rahn bukan rukunnya.
Syarat-syarat rahn. Ulama fiqhi mengemukakan syarat-syarat rahn itu sendiri
adalah sebagai berikut:
1. Syrat
yang terkait dengan orang yang berakat adalah cakap bertindak hokum.
Kecakapan bertindak hokum, menurut jumhur ulama, adalah orang yang telah
balig dan berakal. Namun menurut ulama Mazhaf hanafi, kedua belah pihak yang
berakat tidak disayaratkan balig melainkan cukup berakal saja. Oleh sebab itu,
menurut mereka anak kecil yang mumayis boleh melakukan akad rahn, dengan syarat
akad rahn yang dialakukan anak kecil yang sudah mumayis ini mendapat
persetujuan wilayah.
2. Syarat
sigah ( lafal). Ulama mazhab hanafi mengatakan dalam akad rahn tidak boleh di
kaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang,
karena akad rahn sama dengan akad jual beli. Apa bila akad tersebut dibarengi
dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang.
3. Syarat
al-marhunbih (utang) adalah
a. merupakan
hak yang wajib dikembalikan kepada kreditor
b. hutang
itu bisa dilunasi dengan agunan
c. utang
itu jelas dan tertentu
4. syarat
al-marhun (barang yang dijadikan agunan menurut ahli fiqhi :
a. Agunan
itu bisa dijual dan nilainya seimbang dengan utang
b. Agunan
itu bernilai harta dan bisa dimanfaatkan
c. Agunan
itu jelas dan tertentu
d. Agunan
itu milik sahdebitor
e. Agunan
itu tidak terkait dengan dengan hak orang lain
f. Ugunan
itu harta yang utuh tidak bertebaran dalam beberapa tempat
g. Agunan
itu bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
Disamping syarat-syarat
diatas ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa rahn itu dianggap sempurna apabila
barang yang di rahn-kan itu secara hokum sudah ditangan kriditor dan uang yang
dibutuhkan telah diterima debitor. Apabila jaminan itu berupa benda tidak
bergerak maka tidak harus benda itu yang diberikan tetapi cukup
sertipikat yang diberikan.
Syarat-syarat kesempurnaan rahn oleh ulama disebut sebagai al-qabd al-marhun
(barang jaminan dikuasai oleh debitor. Syarat ini menjadi penting karena Allah
SWT dalam surah al-bakharah (2) ayat 283 menyatakan : ‘ fa-rihan maqbudah’ (
barang jaminan itu dipegang oleh kreditor, maka akad rahn bersifat mengikat
bagi kedua belah pihak.
4. Manfaat
Barang Gadai
Fara ulama fiqhi sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk
pemeliharaan barang gadai tersebut menjadi tanggung jawab pemiliknya, yaitu
debitor hal ini sejalan dengan sabda rasulullah SAW yang mengatakan”….. pemilik
gadai berhak atas segala hasil barang gadai dan ia juga bertanggung jawab atas
segala biaya barang gadai tersebut. ( HR. Asy-syafi’i dan ad-Daruqutni).
Ulama fiqhi juga sepakat bahwa barang yang dijadikan gadai itu tidak boleh di
biarkan begitu saja, tampa menghasilkan sama sekali, karena tindakan tersebut
termaksuk tindakan meyiayiakan harta yang dilarang Rasulullah SAW (HR. at
tirmizi). Akan tetapi bolekah pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang
jaminan tesebut: sekalipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan? Dalam
persoalan ini terjadi perbedaan pendapat ulama.
Jumhur ulama fiqhi, selain ulama mazhab hambali, berpendapat bahwa pemegang
gadai tidak boleh memanfaatkan barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak
pemegang barang gadai terhadap barang itu hayalah sebagai jaminan piutang yang
ia berikan, dan apabila debitor tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia bisa
menjual barang itu, alasan jumhur ulama mengatakan seperti itu
dikarenakan Rasulullah SAW Bersabda yang artinya : barang jaminan
tidak boleh disembuyikan dari pemiliknya, karena hasil dari barang jaminan dan
tanggung jawabnya” ( HR. al-hakim, al-baihaki, dan ibnu Hibban dari Abu
Hurairah)
Akan tetapi apa bila pemilik barang mengizinkan pemengan barang gadai
memanfaatkannya maka barang tersebut selama ditangannya dia bisa
memanfaatkannya, maka sebahagian ulama membolehkannya, karena dengan adanya
izin maka tidak ada halangan bagi pemegang gadai tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Rahn
adalah menjadikan suatu barang jaminan terhadap hak piutang yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut baik seluruhnya maupun
sebagainya.
2. Dasar
hokum rahn harus diambil dari Al-Qur’an dan sunnah Rasullah SAW dan ulama
Fiqih sepakat mengatakan bahwa akad rahn itu dibolehkan karena banyak
kemasyalatan yang terkandung didalamnya dalam rangka hubungan antara sesame
manusia.
3. Syarat
dan rukun rahn harus ada antara kedua orang yang melakukan akad yang ada dalam
agunan.
4. Memanfaatkan
barang gadai itu halal hukumnya selama barang itu kita pengan dengan syarat ada
kesepakatan terlebih dahulu antara debitor dan kreditor.
B. SARAN
Dalam kehidupn sehari hari hendaknya segala sesuatu yang kita lakukan harus sesuai dengan peraturan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Al- Hadit yang telah menjadi pedoman hidup bagi kita masyarakat khususnya kaum masyarakat yang beragama islam dan untuk orang umum lainnya agar segala sesuatu yang kita kerjakan khususnya dalam hal gadai (rahn) tidak menyimpang dengan peraturan Allah AWT.
Langganan:
Postingan (Atom)