GADAI DALAM ISLAM (RAHN)
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas
pada mata kuliah “Aplikasi Komputer Perbankan Syariah ”
Disusun oleh :
Budi
Wahyudin (210210025)
Dosen Pengampu :
Amin Wahyudi
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM STUDI
MU’AMALAH-A
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONOROGO
Mei 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kelebihan pegadaian dibanding bank, secara umum, adalah dalam hal kemudahan dan
kecepatan prosedur. Pegadai (nasabah) tinggal membawa barang yang cukup
berharga, kemudian ditaksir nilainya, dan duit pun cair. Praktis, sehingga
sangat menguntungkan buat mereka yang butuh dana cepat.
Sedangkan perbedaan gadai syariah dengan konvensional adalah dalam hal
pengenaan bunga. Pegadaian syariah menerapkan beberapa sistem pembiayaan,
antara lain qardhul hasan (pinjaman kebajikan), dan mudharabah (bagi hasil)
Bukan tanpa alasan mereka tertarik untuk menggarap gadai ini. Di samping alasan
rasional, bahwa gadai ini memilki potensi pasar yang besar, sistem pembiayaan
ini memang memiliki landasan syariah. Apalagi terbukti, di negara–negara dengan
mayoritas penduduk muslim, seperti di Timur Tengah dan Malaysia, pegadaian
syariah telah berkembang pesat sehingga dalam pembahasan makalah ini akan kami
bahas mengenai tentang rahn.
B. RUMUSAN
MASALAH
E. Pengertian
Rahn
F. Dasar
Hukum Rahn
G. Rukun dan
Syarat Rahn
H. Memanfaatkan
Barang Gadai
1. Pengertian
Rahn
Secara bahasa, rahn atau gadai berasal dari kata ats-tsubutu yang
berarti tetap danad-dawamu yang berarti terus menerus. Sehingga air
yang diam tidak mengalir dikatakan sebagai maun rahin. Dan Rahn
dalam istilah positif Indonesia disebut dengan barang jaminan, dan dalam islam
rahn merupakan sarana saling tolong menolong bagi ummat islam Pengertian
secara bahasa tentang rahn ini juga terdapat dalam firman
Allah SWT :
كَلًّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةً
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa
yang telah diperbuatnya.(QS. Al-Muddatstsr : 38)
Adapun pengertian
gadai atau ar-Rahn dalam ilmu fiqih adalah :
Menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diberikan oleh berpiutang (yang meminjamkan).
Berarti, barang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil kembali dalam
jangka waktu tertentu.
2. Dasar
Hukum Rahn
Ulama fiqih mengemukakan bahwa akad rahn dibolehkan
dalam islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW dalam
Al-Quran Al-Kariem disebutkan:
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ
كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ
الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang)..”.(QS Al-Baqarah ayat 283)
Ayat ini secara
eksplisit menyebutkan barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang.
Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai objek gadai atau
jaminan (kolateral) dalam dunia perbankan.
Selain itu, istilah ar-Rahnu juga disebut dalam salah satu hadis nabawi.
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi
dengan cara menggadaikan baju besinya.(HR. Bukhari dan Muslim)
Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang
menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya… Kepada orang
yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”, (HR Jamaah kecuali Muslim
dan Nasa’i, Bukhari no. 2329, kitab ar-Rahn).
Para fuqaha sepakat membolehkan praktek rahn / gadai ini, asalkan tidak
terdapat praktek yang dilarang, seperti riba atau penipuan. di masa Rasulullah
praktek rahn pernah dilakukan. Dahulu ada orang menggadaikan kambingnya.
Rasululah SAW ditanya bolehkah susu kambingnya diperah. Nabi mengizinkan,
sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasullulah mengizinkan kita
boleh mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya
pemeliharaan. Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan ladang
ijtihad para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi
produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
Secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu lembaga tersendiri
seperi Perum Pegadaian, perusahaan swasta maupun pemerintah, atau merupakan
bagian dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank.
Praktek gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang
telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian, kini bukan lagi
dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya
sakit atau butuh biaya sekolah. Pegadaian kini juga tempat para pengusaha
mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya.
Misalnya seorang produsen film butuh biaya untuk memproduksi filemnya, maka
bisa saja ia menggadaikan mobil untuk memperoleh dana segar beberapa puluh juta
rupiah. Setelah hasil panenya terjual dan bayaran telah ditangan, selekas itu
pula ia menebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap jalan, likuiditas
lancar, dan yang penting produksi bisa tetap berjalan.
3. Rukun
dan Syarat Rahn
Ulama fiqih dalam menetapkan rukun pelaksanaan akad rahn tersebut. Menurut
jumhur ulama ulama rukun rahn itu ada empat.
1. Sigah ( Lafal
ijab Kabul)
yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan secara
tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya
perjanjian gadai diantara para pihak
2. Ar-rahin dan
al-murtahin (orang yang berakat)
3. Al-marhun
(harta yang dijadikan anggunan)
4. Al-marhunbih
(utang)
Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun rahn itu hanya ijab
(pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh pemilik barang) dan kabul
(pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang anggunan
tersebut). Disamping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatya akad
rahn ini, maka di perlukan al-qabd (penguasaan barang) oleh kridor.
Adapaun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan, dan
utang, menurut ulama mashaf hanafi termaksuk syarat-syarat rahn bukan rukunnya.
Syarat-syarat rahn. Ulama fiqhi mengemukakan syarat-syarat rahn itu sendiri
adalah sebagai berikut:
1. Syrat
yang terkait dengan orang yang berakat adalah cakap bertindak hokum.
Kecakapan bertindak hokum, menurut jumhur ulama, adalah orang yang telah
balig dan berakal. Namun menurut ulama Mazhaf hanafi, kedua belah pihak yang
berakat tidak disayaratkan balig melainkan cukup berakal saja. Oleh sebab itu,
menurut mereka anak kecil yang mumayis boleh melakukan akad rahn, dengan syarat
akad rahn yang dialakukan anak kecil yang sudah mumayis ini mendapat
persetujuan wilayah.
2. Syarat
sigah ( lafal). Ulama mazhab hanafi mengatakan dalam akad rahn tidak boleh di
kaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang,
karena akad rahn sama dengan akad jual beli. Apa bila akad tersebut dibarengi
dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang.
3. Syarat
al-marhunbih (utang) adalah
a. merupakan
hak yang wajib dikembalikan kepada kreditor
b. hutang
itu bisa dilunasi dengan agunan
c. utang
itu jelas dan tertentu
4. syarat
al-marhun (barang yang dijadikan agunan menurut ahli fiqhi :
a. Agunan
itu bisa dijual dan nilainya seimbang dengan utang
b. Agunan
itu bernilai harta dan bisa dimanfaatkan
c. Agunan
itu jelas dan tertentu
d. Agunan
itu milik sahdebitor
e. Agunan
itu tidak terkait dengan dengan hak orang lain
f. Ugunan
itu harta yang utuh tidak bertebaran dalam beberapa tempat
g. Agunan
itu bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
Disamping syarat-syarat
diatas ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa rahn itu dianggap sempurna apabila
barang yang di rahn-kan itu secara hokum sudah ditangan kriditor dan uang yang
dibutuhkan telah diterima debitor. Apabila jaminan itu berupa benda tidak
bergerak maka tidak harus benda itu yang diberikan tetapi cukup
sertipikat yang diberikan.
Syarat-syarat kesempurnaan rahn oleh ulama disebut sebagai al-qabd al-marhun
(barang jaminan dikuasai oleh debitor. Syarat ini menjadi penting karena Allah
SWT dalam surah al-bakharah (2) ayat 283 menyatakan : ‘ fa-rihan maqbudah’ (
barang jaminan itu dipegang oleh kreditor, maka akad rahn bersifat mengikat
bagi kedua belah pihak.
4. Manfaat
Barang Gadai
Fara ulama fiqhi sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk
pemeliharaan barang gadai tersebut menjadi tanggung jawab pemiliknya, yaitu
debitor hal ini sejalan dengan sabda rasulullah SAW yang mengatakan”….. pemilik
gadai berhak atas segala hasil barang gadai dan ia juga bertanggung jawab atas
segala biaya barang gadai tersebut. ( HR. Asy-syafi’i dan ad-Daruqutni).
Ulama fiqhi juga sepakat bahwa barang yang dijadikan gadai itu tidak boleh di
biarkan begitu saja, tampa menghasilkan sama sekali, karena tindakan tersebut
termaksuk tindakan meyiayiakan harta yang dilarang Rasulullah SAW (HR. at
tirmizi). Akan tetapi bolekah pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang
jaminan tesebut: sekalipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan? Dalam
persoalan ini terjadi perbedaan pendapat ulama.
Jumhur ulama fiqhi, selain ulama mazhab hambali, berpendapat bahwa pemegang
gadai tidak boleh memanfaatkan barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak
pemegang barang gadai terhadap barang itu hayalah sebagai jaminan piutang yang
ia berikan, dan apabila debitor tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia bisa
menjual barang itu, alasan jumhur ulama mengatakan seperti itu
dikarenakan Rasulullah SAW Bersabda yang artinya : barang jaminan
tidak boleh disembuyikan dari pemiliknya, karena hasil dari barang jaminan dan
tanggung jawabnya” ( HR. al-hakim, al-baihaki, dan ibnu Hibban dari Abu
Hurairah)
Akan tetapi apa bila pemilik barang mengizinkan pemengan barang gadai
memanfaatkannya maka barang tersebut selama ditangannya dia bisa
memanfaatkannya, maka sebahagian ulama membolehkannya, karena dengan adanya
izin maka tidak ada halangan bagi pemegang gadai tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Rahn
adalah menjadikan suatu barang jaminan terhadap hak piutang yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut baik seluruhnya maupun
sebagainya.
2. Dasar
hokum rahn harus diambil dari Al-Qur’an dan sunnah Rasullah SAW dan ulama
Fiqih sepakat mengatakan bahwa akad rahn itu dibolehkan karena banyak
kemasyalatan yang terkandung didalamnya dalam rangka hubungan antara sesame
manusia.
3. Syarat
dan rukun rahn harus ada antara kedua orang yang melakukan akad yang ada dalam
agunan.
4. Memanfaatkan
barang gadai itu halal hukumnya selama barang itu kita pengan dengan syarat ada
kesepakatan terlebih dahulu antara debitor dan kreditor.
B. SARAN
Dalam kehidupn sehari hari hendaknya segala sesuatu yang kita lakukan harus sesuai dengan peraturan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Al- Hadit yang telah menjadi pedoman hidup bagi kita masyarakat khususnya kaum masyarakat yang beragama islam dan untuk orang umum lainnya agar segala sesuatu yang kita kerjakan khususnya dalam hal gadai (rahn) tidak menyimpang dengan peraturan Allah AWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar